“Life is like photography. You need the negatives to develop.” - Unknown

Saturday 22 July 2023

Jika

jika sewaktu ketika sampanku tak menghendaki hilir, 

dan tubuhku kaku tenggelam dalam pengembaraan, 

tolong relakan.


dalam beberapa kesempatan aku jatuhkan perasaanku pada hampa,

melihat pantulan sanubariku tak lagi nirmala, 

sinisku pada diriku penuh jejap dan cela, 

nyala mataku tak lagi riang melainkan sendu dan merana,

jika hatiku dapat berbicara, mungkin ia akan berkata: untuk apa masih ada? 


kedalaman napasku, kucoba rasakan

kuupayakan dengan kalam

harap-harap kembali bangkit dan siap menyambut malam


kurasa baru saja aku mendengar dentum,

mungkin 1 kilometer di belakangku,

mendebarkan, mencekam

aku berbalik, 

mematung

bukankah ini nyata? dari pangkal hingga ujung, agung yang kusebut jantung itu telah binasa 

untuk beberapa detik tatapku gamang,

bingung,

linglung.

mengapa saat ini?


apalagi kepunyaanku yang tersisa?

beralamatkan nestapa kini aku berada

serasa segenap sukmaku dijajah, dijarah

aku murka!! aku marah!!!!

namun akankah merubah? 


sendu sedanku tak lagi bermakna

lunglai ragaku kuhempaskan tak bersisa

oh, malang, malangnya diriku

oh, malang.... malangnya... diriku

yang semula jiwa penuh pengharapan dan kasih sayang,

menjadi seorang berwujud geram dan berang


aku memekik kencang kencang, memersilakan isi dadaku berterus terang

tak cukup kah selama ini kelam bertubi datang? guram ganas memarang?

pantulan gema teriakku mengisi seluruh ruang, getarannya menohokku lancang!


kini kepinganku hancur melebur 

cerai-berai

aku memilih untuk hilang dalam damai

biarlah segala yang lampau,

terkubur rapat denganku yang kini luruh dan runtuh



ps: 

im not sad, y'all. inspired by a self-loathing song i heard these past few days. keep your chin high, people!!!!!

Sunday 12 September 2021

berpola

gaung pekik putus asa yang menerungku
di dalam ruang sukma, sudah berapa lama?

bertubi jerit lara dipaksa redam, terbelenggu
di dalam rongga sanubari, sudah berapa kali?

dalam sembahyang, sembari mendoa, bertanya
pada garis pasrah yang melenggang sementara

akan dalam berapa waktu kembali sedia kala

seumpama getir menelan angan tiap petang
sekira derita memalung jiwa saban terang
semisal guram melulu meredupkan pandang

akan dalam berapa waktu kembali sedia kala

sekali dua mereda, tertampung tabung suka cita
sayang tak bertahan panjang, seperti 
menghitung mundur tempo-
tempo semakin nyata dan nyaring, 

tunggu.

kemudian, 

berulang. 

masa kembali berpola, tergambar membola
apabila kejatuhan dan rapuh adalah lumrah
maka sehari-hari menyantap lemah 
dan
melahap payah
biasa menjadi bagian sarapan dan makan malam
_____________________________________________

semasih usia bersambung, biarkan tegar
agar sakit lekas direlakan dan sudi dibebaskan

jika baik-baik disimpan, tak tahu kapan
akan merampak, mencabik dengan langgan
selagi tenteram dapat digenggam

kuat-kuatlah bertahan

kembalilah dalam damai.
kembalilah dalam damai.


Saturday 16 May 2020

—untuk Mira

—untuk Mira di seberang Selasar Sirna

hendak kau bernapas lega sebab di tikungan tak lagi ada
remah duka yang kau tebar dalam singgasana gembira

selagi berjalan, teliti lagi berapa mata merekah 
saat bisu dan gagu tunggang langgang menuju aksa

tetaplah rancak dan cacak, seorang akan menoleh
dan memberikan sentosa, jangan percacaya karena

yang dilayangkan bukanlah sepatah kata ceria
melainkan kabar temaram, kau tak akan suka

Mira

aku masih terngiang tatkala kau betolak, 
katamu lantang

"jika kepergianku adalah dosa, 
maka pulangkan aku pada sengsara!"

pergimu membawa padma
disematkanmu pada kiri dada

"kepulanganku hanya bisa jika
dikembalikannya ruh pada kalbu!"

kelanamu tak ada yang duga
raib ragamu melahirkan tanya

untuk Mira di seberang Selasar Sirna

dalam sendirimu kau tumbuh nyaris terbunuh
bahkan songketmu dahulu bercahaya kini lusuh

jarak pandangmu tak lagi prima, kini lamur
seliramu dahulu kukuh, kini pedih dan uzur

dengar, Mira

kembalilah,
kembailah karena ruh sudah terpatri
pada atma yang kau rindu dan kasihi

apabila tanyamu jatuh pada siapa
maka kenanglah aku karena yang 
tersisa hanyalah cerita 

dan raga.

pulanglah.



Wednesday 28 August 2019

Lekaslah Berlabuh

Tatapku tajam hanya tertuju pada genangan air yang dikecup titik titik hujan, saling bergantian, semakin lama semakin beradu. Sudah sewindu yang kedua sejak pertama kali kau berkunjung, saat kehadiranmu ada hanya pada hujan tertentu. Aku yang meringkuk sembari menenun doa ini tengah menanti, di mana gerangan payung ragamu, selesai setengah hari aku dijaga waktu, sudah jemu aku melulu mengunyah sedu. Tolong, lekaslah berlabuh.

Dalam sekali waktu, saban kelabu yang terpusat pada sungkawa di atas sana dimusnahkanmu menjadikannya kepingan berwujud titian, agar dapat dengan mudah kutapaki dan kujadikan pijak saat kumelompat sembari merangkai satu per satu sajak. 

Di atas kanvasmu kau lukiskan bait-bait alam tatkala aku menyentuh lapang langit suka cita yang dirasa tak cukup luas, atau berlari di antara belantara tawa hingga terengah letih menarik napas, atau terpelanting tersandung gelisah dan terjerembap di tengah semak belukar, atau mematung syahdu di atas genangan biru selagi melafalkan senandung angin yang bertamu di sela rongga tubuhku setelah ditelanjangi rindu. 

Atau-ku takkan pernah habis dalam menghitung mundur sketsa cerita. Memandang tiap gores cat yang kaububuh setelah mereka meresap lelap adalah wajib; betapa setiap warna bercerita rasa, setiap lengkung dan garis menyampaikan asa. 

Kini jika kau sejenak menatap, dilihatmu matahari terbenam di mataku. Beribu sayang kehadiranmu di hujan kali ini nihil. Inginku menyampaikan baiat di atas panggung telaga sebelah timur, menghadiahkanmu beberapa puisi yang kususun, walau dengan penuh kesadaran aku paham tidak seutuhnya akan kau nikmati saban bait yang kuucapkan. 

Kembalilah jika sempat. Meski perjalanan sewindu berikutnya bukanlah waktu yang singkat, tetapi kunjunganmu akan tetap kuharap.

Saturday 20 April 2019

Pukul Tengah Malam



aku melihat gerimis sepanjang getir bibirmu yang getar,
muara dari genangan payau yang kini perlahan memudar.
tampaknya hatimu sedang ingin membisu, terpahat dalam
wajahmu di bawah  remang rembulan sendu. tetaplah tegar,
Tuan, sebentar lagi fajar akan kembali bangkit, maka kuha-
rap isakmu yang kau endap dalam dalam segera berakhir baik.

selang sebentar, tolehmu padaku berperan sebagai refleksi,
aku diberimu tatap lekat yang jatuh tepat pada nurani. iba. te-
ngadah tanganmu tak kurasa lagi ada doa, kukira yang tersisa
kini hanya kumpulan nestapa. ingin kutanya mengapa namun
sungkan, ingin kutanya alasan namun segan.

kembali kau telusuri sanubari, dalam netramu kutemukan ba-
yang sungkawa berlutut memohon lapang sembari teriakmu
hening dan gamang. terukir di wajahmu kepalan rahang, se-
kiranya murka dan dukamu  tidaklah lekang. aku bersedih,
bahkan tanpa tutur, kau dapat gambarkan bahwa kau berang.

persilakanlah aku untuk berterus terang, Tuan, gundahku satu:
ada apa gerangan? jangan jadikan pundakmu tumpu ribuan be-
ban! maukah kau bersedu-sedan di dalam dekap tatkala kuulur-
kan tangan?

kepala kau gelengkan lunglai.

bibirmu berucap: enggan.

pukul dini hari, lirih bisikmu berkata kau jera dalam perangkap,
berlari ke utara jeritnya: tangkap! berlari ke timur pekiknya: ser-
gap! tanpa tahu tak lagi ada pintu untuk bisa kau buka, tanpa 
peduli tak lagi ada mandala yang dapat kau tegakkan kuasa.
deru tambur hanya sejengkal dari massa, tak hanya bersuara
bising, dari berbagai penjuru mata angin kau disuguhinya dering.

adalah gema dalam otakmu berkata: acak! susah - payah - lengah;
acak! sakit - terbirit -  sengit; acak! hilang - malang - buang; acak!
amuk - cambuk - carut marut;

kau mengerang lara,

acak! acak! rancak! gercak! acak!;

acak! cakak! acak! acak! rancak!;

meraung merana.

tidak! acak! rancak! acak! rancak!;

tidak acak! rancak! tidak acak!

ditutupmu kupingmu ketika pekikmu berdenging nyaring, di te-
ngah sunyi kau melolong muring, menjerit kering, kalang - kabut, 
kocar - kacir, 
pontang - panting.

di hadapanku adalah peristiwa duka.

lututku tak mampu menyangga sedih dan sesakku. aku dilumat
emosi kecewa, dilahap raksasa gagap, gelisah. runtuh kesang-
gupanku menyaksikan pilu begitu nyata, begitu dekat, begitu....

fajar telah tiba, Tuan, pendar baskara mulai merekah, kokok ayam 
bersahutan membangunkan jiwa yang resah.

aku paham, bangkitmu pagi ini dari dekap lututmu memberiku tanda 
agar kembali menemuimu. sampai jumpa di pukul yang sama, aku
harap akan ada lain cerita, terlepas teriakmu yang tak dapat diredam,
dan lamunanmu yang sama saban malam.

Saturday 9 February 2019

Pulang

Aku mengetahui kabarmu dari setiap jejak yang kau tinggalkan di atas kertas, bertinta hitam; sebagian berbait, sebagian lainnya beralinea. Selalu kubaca kisahmu dalam tikaman sunyi, Tuan, cukup detak dan detik saja yang menemani, lebih sering kuremangkan lampu dan kubiarkan udara menyusup relung; bisikanmu kala membacakannya selalu menjadi penawar kesendirian, dan hangatnya genggammu selalu berhasil menyisik nestapa. Sayang, kau hanya sebatas fana, sedang khitahku adalah baka.

Sekali waktu pernah kau kirimkan partitur. Tulismu dengan indah: mainkan jemarimu, rinduku kububuh di setiap nada. Di atas tuts jemariku menari, mereka menyuguhkan ketenangan dan merebak keharmonisan. Makin lama gelombang senandungku bersimpai dengan milikmu, perlahan kurasakan selaras. Andai kubisa menebus dan membunuh jantung penyesalan, tidak mungkin kurasakan perih dan duka mengingatmu begini dalam.

Suratmu kunanti saban bulan, di beranda ia akan datang, pak pos akan mengetuk jendela sebelum memberiku salam dan sapa; lalu kutunggu agar malam menjemput, menemaniku yang sedang memangku duga. Lima tahun sudah berjalan, akan kah kau terus bertahan?

Di akhir suratmu selalu kau goreskan kecup kasihmu yang berupa kalimat, berbunyi: sehari-hari aku menjadi tawanan rindu, tampaknya keadaan selalu berseberangan dengan keinginan, keberpihakan rasa dan waktu tidak pernah sejalan; tidak tahan lagi aku dicekik ribang, biarkanlah aku pulang.

Saturday 29 December 2018

Lima Tahun yang Lalu

"Sudahi sajalah, biar kukembalikan lagi yang menjadi seharusnya milikmu. Aku tidak perlu mendengar sanggahanmu untuk tidak menerima yang selalu kau minta," tuntasku dalam suatu waktu padanya.

"Taruhlah di atas koperku, bertolak saja segera jika itu yang kau mau," pandangannya hampa, yang tersisa hanya hening, sudah kubuat mati kuasanya untuk bertanya. Kita sepakat untuk hengkang dan memilih menyerah. Sekali pun aku yakin teriak dalam pikirnya terus membangkang, sudah tidak lagi ada jalan. Buntu.

Tidak kurasakan ada tangan yang selalu mencegahku kali ini, "mengapa kau baru memberi tahu kali ini?" aku tetap bungkam, "aku bertanya," ucapnya.

"Sudah ketiga kalinya kau bertanya, kau butuh jawaban yang seperti apa lagi?" aku tidak pernah menjawab sedari pertanyaannya yang pertama, aku belum siap untuk bisa mengungkapkan yang sejujurnya. Ketulusannya membuatku sengap, "tidak ada lagi yang perlu diperinci, kau juga sudah menerima untuk tidak bertahan kan? Pilihanmu tepat."

"Aku bertanya sungguh sungguh. Tidak satu pun kata darimu menekankan di mana letak kesalahan episode ini," ia melik jawaban, memaksaku berterus terang. Aku enggan, khawatir akan membuncah dalam isak, aku belum siap.

"Karena pikirku, bagian ini masih dapat dipertahankan dalam kondisi tawar, tapi sudah tidak lagi ada daya dalam rasaku untuk terus mengiyakan. Aku lelah bersikukuh melawan ego," sekuat tenaga aku meredam tangis, "yang seharusnya aku lakukan adalah meminta maaf pada diriku sendiri lebih dulu."

Aku bergegas melangkahkan kaki ke luar, tanpa berpamitan terakhir kalinya. Ekor mataku menangkap pandangnya menjauhi kepergianku. Perannya berujung lara.